Bolehkah Menambahkan Sayyidina Dalam Bacaan Sholawat ?


Pengertian Sholawat

Sholawat adalah sebuah bentuk doa atau pujian yang umumnya ditujukan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Dalam Islam, sholawat dipandang sebagai bentuk penghormatan, cinta, dan pengagungan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .

Sholawat biasanya dilantunkan atau dibaca oleh umat Islam dalam berbagai kesempatan, seperti dalam sholat, majelis dzikir, maulid, atau acara keagamaan lainnya. Ada berbagai bentuk sholawat yang diwariskan dari tradisi Islam, dan masing-masing memiliki keistimewaan dan keutamaan yang diyakini oleh umat Islam.

Sholawat juga dianggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena dengan mengingat dan memuji Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم , umat Muslim berharap mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah. Dalam beberapa tradisi, sholawat juga dianggap sebagai doa yang diterima oleh Allah dan dapat menjadi perantara untuk memohon pertolongan dan syafa'at Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم di akhirat nanti.

 

Menambahkan ‘Sayyidina’ dalam Sholawat Di Luar Sholat ?

Kalau kita mengatakan “Allhumma Shalli ala Muhammad” apakah lebih utama ? atau “Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad” yang lebih utama ?

Kalau kita mengatakan “Allahumma Shalli ala Muhammad” itu karena ketika sahabat bertanya pada Rasul “Wahai Rasulullah, bagaimana cara bersholawat kepadamu”, kemudian Rasul menjawab “Katakan Allahumma Shalli ala Muhammad”. Maka, ini adalah patuh pada perintah, jadi kita tidak boleh mengatakan “Sayyidina Muhammad”. Akan tetapi, jika kita menerapkan adab dalam hal ini, dan mengatakan Sayyidina (Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad). Maka, perbuatan ini adalah adab.

Logika sederhananya adalah ketika Rasulullah ditanya seperti kisah sahabat diatas, sangat tidak mungkin jika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم memerintahkan bersholawat dengan menambahkan “Sayyidina” atau artinya “Yang Mulia”. Karena nanti ummat akan mengira seorang nabi sedang menyombongkan dirinya sendiri padahal seorang nabi itu terbebas dari sifat sombong. Lantas mana yang lebih utama ? apakah adab atau patuh pada perintah (dalam hal ini) ? Para ulama berdalil dengan hadist bahwa adab lebih utama. Karena Abu Bakar as-Shiddiq lebih mendahulukan adab dengan shalat di belakang Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .

Dalam riwayat yakni ketika para Sahabat sedang shalat berjama’ah yang di Imami oleh Abu Bakar as-Shiddiq, Rasulullah صلى الله عليه وسلم  tiba-tiba datang dan masuk ke dalam barisan di shaf pertama. Para makmum serentak langsung menepuk tangan untuk memberi tahu bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم  sudah hadir dan Abu Bakar saat itu masih belum memahami isyarat tersebut, namun karna semakin banyak yang bertepuk tangan beliau menoleh dan melihat bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم  telah hadir. Ketika itu Rasulullah sudah memberi isyarat agar Abu Bakar tetap menjadi Imam, lantas Abu Bakar mengangkat tangannya dan memuji Allah karena bersyukur atas perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk terus menjadi Imam. Tak lama, Abu Bakar kemudian mundur ke belakang dan berada di shaf pertama lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم maju ke tempat Imam dan melanjutkan shalat berjama’ah. Selepas shalat Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya kepada Abu Bakar “Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu menghalangimu hingga kau tidak berkenan ditempatmu ketika aku menyuruhmu tetap menjadi Imam ?” Abu Bakar menjawab “Aku anak Abu Quhafah ini merasa tidak layak menjadi Imam bagi Rasulullah صلى الله عليه وسلم “.

Maka dengan riwayat tersebut, ulama menyimpulkan bawa kita lebih mendahulukan adab. Dengan mengucapkan “Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad”. Dan disambungkan dengan Hadist lain yang berbunyi,

“Aku adalah sayid (pemimpin) anak Adam di hari kiamat dan orang pertama yang dibangkitkan dari kubur dan orang pertama yang memberi syafa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).

Syaikh Imam Nawawi al-Bantani berkata ketika menjelaskan hadist ini, bahwa ini adalah pesan yang diperintahkan untuk disampaikan Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada ummatnya bahwa ia (Rasulullah) adalah sayid mereka. 

Allah berfirman :

“Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu)”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 39).

Jika panggilan untuk nabi Yahya as digunakan kata [Wa Sayyida] lantas mengapa  kata Sayyid tidak boleh digunakan untuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang Ulul’Azmi dan memiliki  keutamaan lainnya ? Memanggil seorang Nabi tidaklah sama seperti dengan menyebut nama orang biasa, demikian Allah berfirman :

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu  kepada sebahagian (yang lain)”. (Qs. An-Nur [24]: 63).

Ini adalah perintah dari Allah SWT, meskipun perintah ini bukan perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi merupakan sebuah anjuran, dan mengucapkan 'Sayyidina Muhammad' adalah salah satu bentuk   penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم seperti yang sudah dijelaskan diatas. Maka dengan riwayat-riwayat diatas, dalam hal sholat saja Sahabat Abu Bakar mengutamakan adab lantas jika menggunakan 'Sayyidina' baik diluar sholat atau dalam sholat tentu sangat dianjurkan menurut para ulama.

Namun tidak sedikit juga saudara-saudara kita terutama dari kelompok Salafi-Wahabi yang sering menyalahkan sesama Muslim yang menggunakan 'Sayyidina' karena menganggap bahwa itu perbuatan yang menambah-nambahkan. Padahal Ulama Salafi-Wahabi sendiripun membolehkan dan menshahihkan riwayat yang menggunakan kata 'Sayyidina'. 


Dalil Membolehkan 'Sayyidina' Dalam Sholawat Dari Ulama Salafi-Wahabi :

Ketika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221). 

Riwayat diatas adalah dalil yang dishahihkan oleh ulama Salafi Wahabi sendiri. Nah, dari Ulama mereka saja membolehkan apalagi dari Ulama-ulama Ahlussunah wal Jama'ah ? Jawabannya tentu sudah pasti saudara.

Kesimpulannya adalah, cara penyampaian perihal sholawat mau itu pakai ‘Sayyidina’ ataupun tidak masing-masing punya dalil untuk dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Kita tidak boleh langsung menjustifikasi bahwa ini salah dan itu salah. Selama dalil tersebut berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadist disertai dengan Ijma’ Ulama. Maka kita harus menghormatinya dan mengambil hikmah apa yang mereka putuskan. Karena, radikal dalam berpikir soal agama itu sangat membahayakan untuk diri sendiri, orang lain, bahkan bagi Agama Islam juga.

 

Referensi :

  • Sekelumit Refleksi tentang Hukum dan Etika karya H. Asmu'i Syarkowi.
  • Syaikh Ali Jum’ah Mufti Agung Mesir (2003-2013).
  • Al Habib Isa AlKaff

Posting Komentar